Gallery

kkn14

Masyarakat yang literat adalah masyarakat yang terbebas dari buta aksara, yaitu masyarakat yang melek wacana, dan masyarakat yang memiliki budaya membaca dalam kehidupannya. Tingkat kemampuan masyarakat dalam membaca adalah salah satu indikator kemajuan suatu bangsa disamping indikator kemajuan lainnya. Selain buta aksara pada masyarakat, penelitian yang dilakukan oleh Studi Program International Student Asessment (PISA, 2009) dalam hal kemampuan membaca para siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia masih harus ditingkatkan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan pemerintah berhasil menekan angka buta aksara penduduk usia di atas 15 tahun. Bahkan, Kemdikbud berhasil melampaui target yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada tahun 2009, sebanyak 5,30 % penduduk Indonesia masih buta huruf. Namun, pada tahun 2012 jumlahnya telah turun menjadi 4,26 %, dan tahun 2013 diperkirakan 4,03 %. Target tahun 2014 penduduk Indonesia yang masih buta huruf di angka 3,83 %. Capaian penuntasan angka buta aksara setiap tahun selalu melampaui target RPJMN 2010-2014. Pada tahun 2010, target RPJM sebesar 5,44 %, namun Kemdikbud berhasil menekan hingga 5,02 %. Sementara pada tahun 2012, dari target 4,8 % penduduk, Kemdikbud berhasil mencapai angka 4,26 %.

Keberhasilan pemerintah Indonesia dalam memberantas buta aksara memperoleh penghargaan dari UNESCO pada tahun 2012, yakni King Sejong Literacy Prize. Prestasi internasional ini merupakan cermin keberhasilan program pendidikan keaksaraan yang diintegrasikan dengan pengenalan kewirausahaan. Keseriusan pemerintah membina taman bacaan masyarakat juga menjadi salah satu hal yang memikat organisasi PBB di bidang pendidikan tersebut. King Sejong merupakan sebuah penghargaan yang cukup prestisius, sebab tidak mudah memberantas buta aksara.

Sepanjang tahun 2013, sejumlah negara melakukan studi banding ke Indonesia untuk melihat program penuntasan buta aksara yang dilakukan oleh pemerintah. Sejumlah negara menilai Indonesia adalah salah satu negara yang dapat di contoh dalam hal pengembangan program keaksaraan.

Menurunkan angka buta aksara memerlukan kajian yang valid, signifikan dan akuntabel dipandang dari manajemen, rekrutmen, pengembangan perencanaan, pengembangan proses, pelaksanaan, hasil, evaluasi dan pelaporan kegiatannya, agar diperoleh luaran yang tepat baik sisi kualitas maupun kuantitas.

Proses pelaksanaan pembelajaran penurunan angka buta huruf sebaiknya mencapai indikator tingkat tinggi secara kognitif, psikomotor dan afektif yang dikembangkan dari standar kompetensi dan kompetensi dasar bebas buta aksara. Ketepatan frekuensi dan ketepatan durasi pembelajaran menjadi hal penting dalam proses pembelajaran, di samping faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar seperti Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang secara kontekstual menggunakan media yang tersedia dekat dengan lingkungan dan kehidupan peserta sehari hari. Evaluasi hasil belajar sebaiknya dilaksanakan secara periodik, otentik, praktis, dan memudahkan dalam pelaporan. Hasil evaluasi sebaiknya memberikan gambaran objektif dari keadaan subjek yang sebenarnya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 penduduk buta huruf 6 (enam) Provinsi pada rentang usia 15-44 tahun adalah:

  1. DKI Jakarta: 0,20%
  2. Jawa barat: 0,89%
  3. Banten: 0,90%
  4. Jawa tengah: 1,44%
  5. DI Yogyakarta: 0,33%
  6. Jawa timur: 2,19%

(http://bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=2).

 

Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, menunjukkan awal tahun 2008 jumlah kasus buta aksara di Jabar mencapai 512.475 orang dengan kategori usia di atas 15 tahun. Sepanjang tahun 2008, kasus itu berhasil dikurangi sebanyak 185.482 orang, sehingga pada awal 2009 sisa jumlah kasus buta aksara menyisakan 326.993 orang. Pemberantasan buta aksara di Jawa Barat merupakan terobosan di tahun 2009. Melalui program itu, dipastikan indeks pembangunan manusia (IPM) Jabar meningkat (http://www.paudni.kemdiknas.go.id/news/20090911090740/2010-Jabar).

IPM provinsi Jabar berada pada urutan 15 dari 33 provinsi di seluruh Indonesia. Persoalan pendidikan menyumbang poin besar rendahnya IPM, seperti masa lama sekolah siswa dan buta huruf. Pemprov Jabar menyebutkan angka rata-rata lama sekolah di Jabar baru 7,5 tahun. Jika dilihat statistik per kota dan kabupaten, Depok memiliki angka paling lama sekolah yaitu 10,5 tahun. Paling rendah Kabupaten Indramayu yaitu 5,5 tahun, artinya hanya bisa sekolah sampai SD. Penyebab tingginya putus sekolah karena faktor ekonomi. Jumlah ruang kelas dan jumlah bangunan sekolah pun masih minim. Solusinya bisa dengan kejar Paket A dan Paket B. Dari 26 kabupaten dan Kota, baru karawang yang bebas buta huruf. Sementara Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Bogor paling rendah melek hurufnya. Sedangkan di Kota Bandung masih ada 8.000 warga yang buta huruf (http://bandung.detik.com/read/2008/12/19/185522/1056713/486/angka-buta-huruf).

 

Di sisi lain Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumber daya alam, yang dapat digunakan untuk pertanian, perkebunan dan perikanan, serta keragaman budaya, tetapi belum ditunjang oleh sumber daya manusia yang produktif dan kreatif, yang mampu memanfaatkan sumber daya alam melimpah tersebut, disebabkan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, terbatasnya lapangan kerja yang dapat menyerap lulusan sekolah formal, hal ini yang menyebabkan pengangguran yang setiap tahun terus meningkat.

Untuk mengurangi tingkat pengganguran, perlu adanya program pelatihan mengenai kewirausahaan kepada orang-orang dalam usaha usia produktif agar mereka tidak terlalu berharap mencari pekerjaan tetapi membuat lapangan pekerjaan yang produktif untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.

Suatu negara dapat menjadi makmur bila memiliki sedikitnya 2% entrpreneurship dari jumlah penduduk tersebut. Dari data statistik, Indonesia diperkirakan baru memiliki 400.000 wirausahawan atau 0,18 % dari penduduk Indonesia. Negeri ini perlu melakukan lompatan besar untuk menanggulangi masalah pengangguran kemiskinan dengan menerapkan pendidikan kewirausahaan sejak usia dini. Dengan demikian, di Indonesia akan lahir generasi muda pencipta lapangan kerja, bukan pencari kerja, sehingga kemakmuran Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alamnya bisa terwujud.

Kisah kemonceran sebuah bangsa selalu dilentikan oleh kisah heroisme para entrepreneurnya. Mereka membangun bisnis dari nol, mendedahkan cerita legendaris dan kemudian menancapkan jejak yang amat kokoh dalam sejarah ekonomi dunia. Amerika akan selalu dikenang karena memiliki Henry Ford, Bill Gates, ataupun Lary Page dan Sergei Brin (Pendiri google). Jepang menjadi legenda lantaran kisah Akio Morita (Pendiri Sony), Soichiro Honda dan Konosuke Matshushita (Panasonic).

Lalu bagaimana solusinya? Apa yang mesti dilakukan negeri ini sehingga kelak akan lahir Bill Gates dari Bandung, Akio Morita dari Pematang Siantar, ataupun Sergei Brin dari tanah Maluku? Solusi ini akan coba dibentangkan dengan menelusuri dua faktor utama kenapa negeri ini masih sangat kekurangan sosok entrepreneur yang tangguh. Jawaban yang pertama adalah karena sistem pendidikan yang diterapkan mendidik generasi untuk menjadi pegawai bukan untuk menjadi entrepreneur, mengarahkan untuk menjadi kuli bukan kreator. Sungguh mengherankan, sepanjang mengenyam pendidikan puluhan tahun, nyaris tidak pernah mendapatkan pelajaran entrepreneurship. Juga nyaris tidak mendapatkan pelajaran tentang keberanian mengambil resiko, tentang ketajaman mencium peluang bisnis, ataupun pelajaran tentang Life Skills, sebuah pelajaran penting yang akan membuat manusia-manusia nan digdaya.

Faktor kedua adalah mindset orang tua yang cenderung lebih menginginkan anaknya menjadi pegawai/karyawan. Sebab orang tua mana yang tidak bangga jika anaknya bisa menjadi eksekutif di Citybank atau manajer di Astra Internasional? Mindset seperti ini menjadi kelaziman sebab bagi kebanyakan orang tua, mengabdi dan bekerja di sebuah perusahaan besar setelah lulus sekolah adalah jalur yang harus dilalui untuk merajut kesuksesan. Sebuah jalur paling stabil dan paling aman untuk dapat melihat anaknya mampu membangun rumah dan memiliki sebuah mobil.

Sebaliknya orang tua akan ragu dan gamang ketika melihat anaknya memutuskan untuk membangun usaha secara mandiri. Mereka khawatir jangan-jangan hal ini akan membuat anak cucu mereka kelaparan. Mindset seperti ini pelan-pelan harus diubah. Cara yang paling efektif adalah dengan menyodorkan semakin banyak keberhasilan, diharapkan orang tua menjadi kian sadar bahwa pilihan menjadi entrepreneur dan membuka usaha sendiri merupakan jalur yang juga bisa membawa kesuksesan yang melimpah.

Seperti apa entrepreneur? Entrepreneur adalah seorang yang memiliki daya kreasi dan inovasi untuk mengubah barang yang tidak berguna menjadi bernilai, mengubah sampah menjadi pupuk organik yang bermanfaat, mengubah kebiasaan dari sekedar browsing untuk suka-suka diubah menjadi kegiatan bisnis yang bernilai, mengubah produk open source menjadi produk yang bisa membantu banyak orang dan bisa digunakan dengan mudah sehingga bernilai dan laku dijual. Berani mengambil resiko dari setiap kegiatan, penelitian, riset dalam rangka membuat produk baru, menemukan cara baru, menemukan jawaban baru dari setiap masalah yang muncul disekelilingnya. Tanggap terhadap perubahan, tidak mudah menyerah, selalu punya alternatif penyelesaian, tidak menyalahkan keadaan, dan tidak menyalahkan takdir. Untuk itu diperlukan training dalam rangka membentuk sesorang menjadi entrepreneur.

Perguruan tinggi sebagai pusat pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang, akan memberikan pendidikan dan pengalaman kepada mahasiswa agar memiliki jiwa pengabdian serta kegairahan untuk meneliti dengan penuh rasa tanggung jawab yang besar, menggiatkan mahasiswa sehingga mampu berperan dalam pembangunan nasional.

Perguruan tinggi dituntut untuk lebih berorientasi dan menyerasikan kurikulumnya kepada kebutuhan pembangunan yang dapat menghayati dan mengatasi problema pembangunan dan kemasysrakatan serta berfungsi sebagai penerus pembangunan. Hal ini akan bermakna karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus diabdikan kepada pembangunan manusia seutuhnya.

Dalam konteks pemikiran yang demikian itu maka, Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada masysrakat yang diharapkan akan dapat menjawab terhadap tantangan pembangunan dan masa depan tersebut. Dengan adanya minat dan keikhlasan pada diri mahasiswa untuk dapat membantu menyelesaikan program program pemerintah Jawa Barat.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik merupakan salah satu bentuk pengintegrasian kegiatan antara masyarakat dengan pendidikan dan penilitian terutama oleh mahasiswa dengan bimbingan perguruan tinggi dan pemerintah daerah, dilaksanakan secara interdisipliner.

Kabupaten Bandung adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kotanya adalah Soreang. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang di utara, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung di Timur, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur di Selatan, serta Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi di Barat. Secara Administratif Kabupaten Bandung terdiri dari 31 Kecamatan dan terbagi 267 desa dan 9 kelurahan.

Kabupaten Bandung merupakan bagian dari wilayah pengembangan metropolitan Bandung, yang mempunyai luas 176.239 km2 dengan jumlah penduduk 3.174.499 jiwa terdiri dari 1.617.513 laki-laki dan 1.556.986 perempuan (BPS 2010), yang merupakan hiterland serta daerah penyangga ibukota propinsi Jawa Barat. Hal ini memberikan dampak positif terhadap keleluasan dan peluang pengembangan struktur ekonomi dan aksesibilitas infrastruktur peningkatan kualitas sosial.

Lahan merupakan sumber daya alam yang paling penting dalam usaha budidaya pertanian. Potensi Lahan di Kabupaten Bandung, terdiri dari Lahan Sawah seluas  36.212 hektar  atau 20,55%  dari luas wilayah Kabupaten Bandung (176,239 Ha),   Lahan Kering seluas  140.027 hektar (79,45 %), terdiri dari lahan kering pertanian seluas 74.778 Ha (42,43 %) dan lahan kering bukan pertanian 65.249 Ha  (37,02 %). Potensi sektor pertanian hampir di seluruh Wilayah Pengembangan, sehingga kebijakan pengembangan sistem kota-kota dan wilayah diarahkan pada pengembangan kawasan pertanian, terutama di WP Soreang-Kutawaringin-Katapang, WP Baleendah, WP Banjaran, WP Majalaya, WP Cileunyi-Rancaekek, WP Cicalengka, dan WP Cilengkrang-Cimenyan.

Walaupun mempunyai sumber daya alam yang melimpah, masyarakat Kabupaten Bandung masih merasa kesulitan untuk membangun usahanya sendiri karena dihadapkan pada beberapa masalah diantaranya keterbatasan modal, khususnya modal kerja, keterbatasan sumber daya manusia, pengetahuan yang minim mengenai bisnis dan kurangnya penguasaan teknologi.

Jika diperkirakan jumlah pemuda pengangguran dan putus sekolah di kabupaten Bandung hampir mencapai jumlah yang besar. Sebagian dari mereka ada yang mencari pekerjaan ke daerah lain atau menjadi urban ke kota seperti Bandung, Jakarta dan kota besar lainnya yang dianggap dapat memberikan kehidupan bagi mereka daripada harus tinggal di desa yang tidak dapat memberi jawaban tentang masa depan mereka.

Sebagian para pemuda dan masyarakat di Kabupaten Bandung terutama di kecamatan Kertasari lebih tertarik untuk menjadi petani sayuran, daripada harus menjadi seorang wirausaha atau pergi ke kota besar lainnya. Karena mereka beranggapan, bahwa lebih baik menjadi petani sayuran yang dapat diperkirakan mendapat upahnya, daripada menjadi seorang wirausaha yang belum dipastikan penghasilannya.

Dengan apresiasi yang tinggi terhadap keadaan tersebut, khususnya di Kabupaten Bandung yang memiliki potensi melimpah, dimana hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Kabupaten Bandung untuk meningkatkan produktivitasnya dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Bandung, maka dalam hal ini perlu adanya pemberdayaan kepada masyarakat berkaitan dengan Pelatihan Kewirausahaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.