Belakangan ini, fenomena kelangkaan minyak goreng dan melambungnya harga kedelai yang berdampak pada produksi tahu tempe tengah menjadi sorotan.

Gejolak harga kebutuhan pokok selalu menjadi isu sensitif. Padahal, akar masalah kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng sudah diketahui, begitu pula dengan naiknya harga kedelai.

Kenaikan harga minyak goreng bahkan telah diperkirakan sejak tahun lalu, menyusul meroketnya harga CPO di pasar global. Namun, karena tidak adanya langkah atau kebijakan antisipatif, kelangkaan dan kenaikan harga dua bahan pokok ini harus ditanggung masyarakat selaku konsumen.

Menanggapi fenomena tersebut, pengamat ekonomi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi menyebut, pemerintah tidak konsisten dalam perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Hal ini ia sampaikan pada Live Talk Elshinta 89.4 FM bertema “Minyak Goreng Langka, Siapa yang Bermain?”, Selasa (22/2/2022).

Seharusnya, kata Acuviarta, pemerintah sudah memiliki kebijakan dan strategi ketika fenomena semacam ini kembali terjadi. Akibatnya, pemerintah dinilai tidak all out dalam mengatasi dan memangkas durasi kelangkaan minyak goreng maupun tingginya harga kedelai.

“Kenaikan harga atau kelangkaan komoditas itu kan terjadi berulang, tapi pemerintah tidak konsisten, sehingga pengambilan kebijakan saat ini dirasa terlambat. Misalnya kasus minyak goreng yang sebenarnya telah terlihat adanya inflasi pada 2021,” ujarnya.

Ilustrasi. (Source: Liputan6)

Terlambatnya pengambilan kebijakan sampai berbulan-bulan ini, kata dia, baru diambil pada Januari 2022. Mestinya, pemerintah bisa bersikap tegas seperti saat adanya kasus batu bara yang dihentikan pengirimannya ke luar negeri.

“Karena harganya meningkat cukup lama, harusnya treatment dari pemerintah tegas seperti kasus batu bara yang saat itu mengganggu pasokan listrik,” terangnya.

Menurutnya, langkah yang masih terbilang membantu di antaranya dengan melakukan operasi pasar meskipun jumlahnya kecil.

Mengenai lonjakan harga kedelai, ia menuturkan karena berkurangnya pasokan ke pasar dalam negeri dan volume produksi di negara produsen menurun.

“Pemerintah masih melakukan impor kedelai sekitar 80 persen. Dulu pemerintah sempat berjanji untuk meningkatkan produksi dalam negeri ketika ada gangguan di pemasok, seperti Brasil atau Amerika Serikat,” jelas Acuviarta.

Ia menyayangkan lambatnya upaya Kemendag dan tidak maksimalnya kebijakan. “Harus ada koordinasi antara Kementan dengan Kemendag,” lanjut dia.

Puncaknya, kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga kedelai berdampak pada tingginya inflasi. Apalagi, pemerintah sudah menerapkan work from home (WFH) dan terjadi PHK massal yang berujung pada penurunan daya beli dan kesejahteraan masyarakat.

Solusinya, pemerintah harus memastikan harga eceran tertinggi (HET) bisa diterapkan dan kebijakan pasokan 20 persen. Ditambah dengan kebijakan penindakan dari satgas pangan bagi mereka yang menimbun komoditas di tingkat distributor atau produsen.

“Kalau inflasi tinggi sedangkan banyak warga yang terdampak, maka itu tidak bagus juga, semoga saja adanya varian baru Omicron kebijakan ke depan bisa berpihak kepada rakyat,” harapnya. (Reta)*